Perkawinan yang diatur menurut hukum adat ditata secara bijaksana sebagai jaminan bagi masyarakat untuk menghindari semua jenis pelanggaran hukum adat. Berkaitan dengan perkawinan, para remaja Dayak Manyaan umumnya memilih sendiri pasangan hidup mereka. Setelah saling jatuh cinta dan yakin bahwa pilihannya tidak keliru jalan yag ditempuh menuju jenjang perkawinan dapat berupa:
- Ijari
Pasangan calon pengantin mengunjungi tokoh masyarakat / pengurus agama lalu menyerahkan pernyataan tertulis disertai barang bukti yang menguatkan pernyataan. Biasanya disusul dengan musyawarah antar ahli waris kedua belah pihak untuk perencanaan kapan dan bagaimana perkawinan anak-anak mereka dilaksanakan. Pertemuan tersebut menghasilkan surat pertunangan yang kelak akan digunakan sebagai bukti resmi saat perkawinan dilaksanakan. - Peminangan
Acara peminangan biasanya didahului oleh kesepakatan kecil antara ahli waris kedua remaja saling jatuh cinta. Dalam acara peminangan dibuat surat pertunangan yang mencantumkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak termasuk mencatat pula semua barang bukti peminangan dan tata cara / hukum adat perkawinan.
- Singkup Paurung Hang Dapur
Tata cara ini merupakan tata cara yang paling sederhana dalam hukum perkawinan Dayak Manyaan. Perkawinan resmi ini hanya dihadiri oleh beberapa orang mantir (Tokoh Adat) dan Ahli Waris kedua pengantin.
Dalam tata cara ini ada hukum adat yang mengatur berupa:
Keagungan Mantir
Kabanaran
Pamania Pamakaian
Tutup Huban (kalau ada)
Kalakar, Taliwakas
Turus Tajak
Pilah Saki tetap dilaksanakan. - Adu Bakal
Upacara Adu Bakal dianggap perlu agar kedua pengantin dapat hidup sah bersama untuk mempersiapkan perkawinan lanjutan. Adu Bakal berlaku 100 hari, apabila perkawinan lanjutan tertunda melebihi masa 100 hari perkawinan adu bakal, maka pengantin akan dikenakan denda saat perkawinan lanjutan dilaksanakan berupa “Hukum Sapuhirang”. - Adu Jari (adu biasa)
Pada perkawinan resmi ini, pengantin diapit oleh rekan masing-masing mempelai. Perempuan mendampingi pengantin perempuan dan laki-laki mendampingi pengantin laki-laki. Setelah upacara perkawinan ada ketentuan yang disebut “pangasianan” asal kata “Kasianan” yang artinya mertua. Acara “Pangasianan” adalah bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian antara mertua dengan menantu dan lingkungan yang baru. Dalam perkawinan ini ada hukum “lanyung ume petan gantung” - Adu hante
Pada tata cara ini perkawinan diadakan secara meriah (baik keluarga mampu maupun kurang mampu) dengan acara wurung jue dan igunung pirak. Tata cara perkawinan ini disertai upacara belian 2 malam untuk memberi restu, mendoakan agar menjadi pasangan yang berhasil. Kedua pengantin biasanya disanding di atas gong yang dilapisi 9 susun kain dan diapit 9 orang pemuda/i.